Wednesday, September 16, 2015

Komunitas Bakery-Resto-Cafe, Sejak 11 Agustus 2015 sampai saat ini, berita dan kejadian yang membahana dan terus merisaukan seluruh pelaku ekonomi di dunia adalah devaluasi Yuan sebesar 3,3 persen terhadap US Dollar. Sejak devaluasi diluncurkan, daya gempurnya begitu luar biasa, mengubur berbagai diskusi panjang selama setahun mengenai rencana The Fed untuk menaikkan suku bunga US Dollar. Isu kenaikan suku bunga US Dollar sudah membuat otot nilai kurs US Dollar menguat terhadap berbagai mata uang dunia sejak akhir tahun 2014 lalu. Lunglainya berbagai mata uang negara-negara Asia dan dunia, termasuk Indonesia yang cukup parah tersungkur dimana saat tulisan ini dibuat sudah menyentuh angka Rp 14.000 per US Dollar, memunculkan kekhawatiran dalam di diri para pelaku usaha bakery-resto-cafe dan pelaku usaha lainnya. Tanpa devaluasi Yuanpun, ekonomi kita sudah terkulai cukup dalam. Berbagai industri dan komoditas mengalami penurunan penjualan. Apa motif Tiongkok mendevaluasi mata uangnya? Beberapa pendapat diantaranya adalah ini ujian dari Tiongkok kepada negara-negara anggota IMF agar Yuan diterima sebagai mata uang cadangan devisa dunia, yang keinginannya itu ditunda IMF menjadi 1 Oktober 2016 dengan alasan liberalisasi yuan belum memadai. Devaluasi ini merupakan sinyal awal menuju liberalisasi Yuan secara penuh. Negara kita banyak mengekspor produk ke Tiongkok dan juga mengimpor berbagai produk dari Tiongkok. Untuk ekspor ke Tiongkok, dengan turunnya nilai Yuan maka produk-produk kita menjadi kurang kompetitif di Tiongkok sekarang ini. Mau tidak mau pelemahan kurs Rupiah adalah cara menjaga daya saing produk-produk kita di pasar Tiongkok. Untuk produk-produk impor dari Tiongkok, maka saat ini produk Tiongkok akan terasa murah yang mana sebelumnya juga sudah murah, sehingga menjadi ancaman serius bagi industri dalam negeri yang produk-produknya bersaing dengan produk dari Tiongkok seperti misalnya tekstil dan elektronik. Maka sekali lagi, pelemahan Rupiah adalah jawabannya. Tak pelak, perang mata uang saat ini sudah berlangsung, dan kita tidak tahu kapan akan berakhir, dengan memakan korban seperti apa. Sebagai pelaku usaha dan juga konsumen, hal yang peling penting kita lakukan dalam menjaga daya saing pada saat situasi ini adalah menjaga kemampuan inovasi dan layanan prima. Inovasi harus dan harus dilakukan jika tidak ingin tergilas oleh membanjirnya produk murah. Layanan prima sudah menjadi standar, jika tidak ingin tertinggal dalam persaingan yang ketat karena pasar yang mengecil akibat leburnya daya beli di kelas menengah bawah. Passion and Innovation for Higher Achievement...!

No comments: