Thursday, December 27, 2007

BRANDING
EVERYTHING IS BRANDED

Prakata
Pada artikel di BusinessWeek edisi awal Juni 2007 dibahas mengenai masalah besar yang dihadapi oleh Hyundai, perusahaan otomotif asal Korea. Menurut hasil penelitian Initial Qulaity Study oleh J.D. Power membuktikan kualitas mobil-mobil Hyundai diatas Toyota dan Honda, hanya dibawah Lexus dan Porsche. Namun hanya 23% pembeli mobil tahun 2006 yg mau mempertimbangkan merek Hyundai dibanding 65% untuk Toyota dan 50% untuk Honda (ini untuk pasar Amerika Utara).
Lihat tabel berikut :

Index Fokus Riset Hyundai Toyota Honda
Kualitas tinggi
Initial Quality Study JD Power No. 3 No. 4 No.6
Konsumen yg mau membeli
Calon pembeli yg mempertimbangkan
merek tsb (2006) 23% 65 % 50%

Padahal Hyundai sudah melakukan berbagai kiat untuk menarik pembeli seperti : menarik Steve Wilhite mantan SVP Global Marketing Nissan dan Volkswagen dan Apple Computer Inc. Model-model terbaru banyak dikeluarkan dengan kualitas dan desain yg luar biasa bagusnya plus aneka diskon, naumn stok barang terus menumpuk di gudang.

Dalam suatu riset oleh biro iklan Goodby, Silverstein & Partner terhadap 200 responden penguji diperkenalkan mobil crossover Veracruz tanpa logo Hyundai. Pengujian dilakukan dengan teliti. 71% mengatakan bahwa mereka tidak ragu untuk membelinya. Namun saat logo Hyundai dipasang, angka tersebut menciut menjadi 52%. Dalam penelitian yg sama, logo Toyota justru melejitkan niat membeli mencapai 90%.

Kasus Hyundai tersebut dapat memberi gambaran mengenai pentingnya membangun brand yang kuat namun kenyataannya banyak pebisnis, terutama yang usahanya terlanjur besar karena fasilitas proteksi pasar di masa lampau tidak memahami pentingnya membangun brand. Padahal di dalam branding sebenarnya nilai suatu usaha / bisnis itu berada. Waktu Sampoerna dibeli oleh Philip Morris Corp. seharga 18 triliun rupiah, asset fisiknya cuma 6 triliun rupiah. Artinya sisa 12 triliun rupiah adalah nilai dari merek-merek yang dipegang oleh Sampoerna seperti Jisamsoe, A Mild, Sampoerna Hijau, dsbgnya. Maka bisa jadi Gudang Garam saat ini sudah diincar oleh Japan Tobacco senilai 2 kali harga jual Sampoerna.

Orang Amerika Serikat paling menyadari pentingnya kekuatan branding. Negara tersebut adalah negara dengan jumlah utang terbesar di dunia. Namun tidak sedikitpun bangsa tersebut grogi akan besarnya hutang yang dimiliki. Mengapa? Karena di negara tersebut segudang merek-merek besar bercokol.
Sebutlah Coca Cola yang dinilai 70 miliar US dollar alias hampir 700 triliun rupiah. Belum lagi kalau kita bicara Microsoft yang dimiliki oleh Bill Gates, manusia terkaya sejagat. Juga perusahaan mesin pencari (search engine) di internet, Google, yg nilainya seharga semua kapitalisasi pasar emiten yang ada di BEJ. Masih ada lagi merek kelas dunia seperti Disney, Pepsi Cola, Citibank, Kentucky Fried Chicken, Amazon.com dsbgnya, yang kalau 10 merek besar saja dijual, maka kemungkinan seluruh hutang Amerika Serikat bisa lunas. Ini semua terjadi karena pemerintahan di sana menyadari pentingnya membangun dan menjaga brand supaya tumbuh mendunia, sehingga perekonomian bangsa terjaga aman.
Bagaimana dengan di Indonesia? Isu mengenai sikap pemerintah mendukung proses branding masih menjadi tanda tanya besar. Cara berpikir orang kita yang kalau melihat sesuatu secara jangka pendek, tidak membuat kehadiran suatu brand bisa bertumbuh dengan baik. Brand-brand besar yang ada di sini sepenuhnya merupakan usaha keras pihak swasta untuk membesarkannya. Belum lagi masalah pembajakan brand yang cukup marak sehingga membuat ketakutan banyak pihak untuk mengambil posisi berjuang habis-habisan untuk branding.
Mengapa Perlu Branding?
Brand yang kuat akan memberi efek kepercayaan produk yang kuat sehingga orang bersedia membayar lebih mahal daripada brand lainnya walaupun suatu produk bisa jadi sama persis kualitasnya. Anda akan tampil lebih yakin saat tahu jass yang anda pakai mereknya Hugo Boss, namun saat brand yang menempel dicopot dipasangkan merek Ogah Bos, apakah masih anda berjalan dengan mantap?
Brand yang kuat akan memberi aliran keuangan yang sehat bagi perusahaan. Dengan aliran kas yang bagus, maka perusahaan punya dana untuk riset pengembangan produk, untuk berpromosi secara massif dan memperoleh kredit mudah dari banyak pihak. Belum lagi negosiasi dengan distributor dan supplier akan semakin baik posisi pemilik brand. Maka brand yang kuat akan memberi rasa percaya diri bagi pihak yang memegang brand tersebut untuk terus tampil memberikan yang terbaik

Bagaimana Memulai Branding ?
Ilmu marketing yang berkembang secara pesat menghasilkan banyak sekali teori-teori untuk formulasi brand building. Sayangnya banyak orang yang berpikir bahwa marketing adalah ilmu yang sering disamakan sebagai ilmu selling, padahal bukan hanya itu. Selling sebenarnya adalah akibat pelaksanaan dari program marketing. Selling yang sukses dan menguntungkan serta berkelanjutan adalah akibat strategi program marketing yang terencana dengan baik. Sebaliknya juga banyak orang yang berpikiran bahwa marketing adalah suatu ilmu yang terlalu rumit untuk dipahami dan memerlukan biaya yang besar sementara hasilnya belum jelas ketahuan akan memberi dampak apada peningkatan penjualan atau tidak.
Hal ini bisa terjadi karena beberapa faktor. Diantaranya karena adanya konsultan marketing yang menyajikan teori, istilah-istilah dan bahan presentasi yang rumit supaya sang klien berpikir perlu sang konsultan untuk membantunya terus sampai mengerti dan menyiapkan program marketing bagi perusahaannya. Juga secara umum karena sifat orang Indonesia yang pola berpikirnya jangka pendek, maunya serba instant. Padahal setiap hasil yang baik dan langgeng adalah akibat dari suatu proses yang terencana, terukur dan teraplikasi dengan penuh kematangan.

Mengupas Berbagai Contoh Proses Branding
Apakah brand itu suatu produk, jasa atau perusahaan? Apakah dia logo, strategi pemasaran atau suatu perilaku? Bagaimanapun dapat diterima oleh siapapun bahwa suatu brand itu bisa nama produk bisa juga nama produsennya. Namun kita bisa berasumsi bahwa “produk” itu tidak semata-mata barang fisik atau entitas tangible, tapi bisa berupa jasa, seperti telekomunikasi atau bengkel mobil.
Menurut Naomi Klein di tulisannya yg berjudul No Logo, brand itu adalah makna / hal yang inti bagi sebuah perusahaan di jaman moderen ini. Branding menggambarkan secara akurat sifat-sifat perusahaan yang paling hakiki di era globalisasi ini, dimana produsen harus bisa menjual produknya kepada pelanggan potensial di dan dari berbagai penjuru dunia yang berbeda bahasanya maupun budayanya.
Brand tidak hanya berarti nama produk. Penyanyi terkenal kelas dunia seperti Madonna misalnya, secara konsisten dikemas, dibranding dan di-rebranding lagi sepanjang karirnya. Hal ini untuk menjaga kelangsungan momentum untuk merekatkan posisinya sebagai penyanyi wanita paling sukses sepanjang masa (lebih dari 20 tahun).
Contoh lain adalah, dimana setelah memegang tampuk pemerintahan Inggris pada tahun 1997, Perdana Menteri Tony Blair melakukan pendekatan untuk Negara Inggris Raya sebagai suatu brand yang harus bisa dipasarkan, yang menghasilkan suatu semboyan “Cool Britain” untuk mempromosikan citra negerinya di seluruh dunia.
Branding merupakan sekumpulan nilai-nilai inti dari seseorang atau produk, asset atau atribut yang semuanya membentuk identitas. Identitas tersebut merupakan perwujudan visual dari nilai-nilai inti tersebut, pembentukan dari kepribadian yg diinginkan dan dapat berbentuk apa saja. Identitas memberi pedoman segala aspek taksonomis dari suatu merek dagang seperti huruf-huruf atau logo atau gambar atau warna. Juga termasuk hal-hal seperti ethos, suasana, persepsi konsumen yang membalut suatu produk.

Branding Terhadap Usaha Kecil
Ketika bicara tentang branding orang sering mengaitkannya dengan perusahaan besar. Padahal, faktanya adalah bahwa setiap bisnis perlu membentuk brand sendiri agar bisa memenangkan kompetisi. Ini bukan gagasan baru. Bagaimana brand membantu pengusaha membesarkan bisnisnya? Bagaimana juga agar kita bisa membangun brand tanpa biaya besar?
Bisnis apa yg sedang anda tekuni saat ini? Mungkin sebuah usaha yg terbilang sangat kecil. Tetapi apakah kita ingin klien melihat bisnis itu sebagai usaha yg kecil juga? Tentu saja tidak. Kita juga tentu tidak mau memperlihatkan kesan serupa pada kartu nama, kertas surat dan instrumen pemasaran lainnya. Kita harus menampakkan kesan bahwa bisnis kita adalah usaha yang sudah mapan dan memiliki banyak sekali kekuatan.
Sebagian besar dari kita akan lebih suka memilikirkan stabilitas perusahaan sebelum membuat sebuah keputusan membeli. Kalau kita sudah menentukan brand kita dengan logo yang dirancang secara professional, pekerjaan kita untuk membangun kredibilitas di kalangan pelanggan akan semakin enteng.
Membuat desain logo yg elegan dan professional merupakan salah satu elemen penting dari branding. Logo bukan hanya suatu simbol atau gambar, tapi merupakan identitas perusahaan. Logo yang dirancang tepat bisa meninggalkan kesan yang bertahan lama pada klien dan Anda dan pada gilirannya akan membuat akitivitas bisnis kita tidak pernah hilang dalam memori pelanggan. Sebuah logo akan membuat bisnis kita semakin mudah dikenal. Jika kita melihat logo Mercedes, maka ingatan kita akan segera berasosiasi dengan sebuah mobil mewah yang tangguh. Kita tidak perlu berpikir dua kali untuk memikirkan produk apa Mercedes itu. Logo yg baik akan memancarkan sifat dan perilaku perusahaan.
Begitu kita sudah mendapatkan logo untuk bisnis kita, maka akan mempermudah kita untuk menentukan brand. Logo tersebut bisa diletakkan di semua aksesori perusahaan seperti kop surat, kartu bisnis, kemasan, brosur dan sebagainya. Jika kemasan produk kita misalnya dapat dipakai beberapa kali setelah produk kita dipakai/ dikonsumsi, maka akan memberi efek yang besar karena merek pada kemasan tersebut beredar ke beberapa orang. Maka memiliki logo yang dirancang professional menunjukkan komitmen kita terhadap usaha yg dijalankan.
Alat lain yg sangat berguna dalam branding adalah tag line yang ditulis secara ringkas dan mudah diingat. Idealnya tag line kita tidak hanya mengatakan tentang apa yg kita kerjakan melainkan juga tentang USP (unique selling proposition) kita.
Jadi sebuah nilai brand dibentuk oleh sebuah pengenalan, asosiasi, persepsi-persepsi yang membuat sebuah brand mendapatkan “positioningnya”. Repeat order adalah hasil dari sebuah kepuasan dan kepercayaan yg akhirnya melahirkan keyakinan dan kesetiaan (loyalitas) atas brand tersebut.

Membangun Merek Geografis
Adalah tanggung jawab pemerintah sepenuhnya untuk membranding kota-kota yang ada di Indonesia bahkan nama Negara Indonesia sendiri ke manca negara, sehingga sebagai Mega Brand, Indonesia akan memayungi brand-brand produk yang lahir di Indonesia menjadi kuat.
Maka bagaimana kota dikonsepkan menjadi suatu brand yang kuat? Sebenarnya konsep ini sudah berjalan cukup lama dengan menciptakan suatu positioning yang benar atas suatu kota tertentu. Misalnya saja dikatakan bahwa “Palembang itu kota Pempek”. Kalau kita ke kota Malang, maka akan terbayanglah bahwa itu Kota Apel. Bandung? Apalagi kalau bukan disebut-sebut sebagai “Paris van Java” dan “ Kota Kembang” walaupun belakangan sempat santer disebut secara miris yaitu “Kota Lautan Sampah”. Kalau kita ke Bali, maka pulau ini sudah memiliki nama yang mendunia, yang melebihi kepopuleran Negara Indonesia sendiri, yaitu “Pulau Dewata”.
Tidak sedikit orang di dunia yang mendambakan untuk berwisata ke Bali, selain ke Hawaii atau Bahama. Memang sejak terguncang tragedi Bom Bali di Legian pantai Kuta, maka tercipta brand baru yang membuat usaha brand building bertahun-tahun rusak dalam sekejap. Baru saja Bali menggeliat lagi dengan susah payah membangun Bali Recovery, terjadilah Bom Bali seri Kedua lagi di Jimbaran. Saat ini tentunya menjadi masa-masa yang sulit bagi Bali untuk meyakinkan turis manca Negara untuk mengunjungi Bali karena secara psikologis, di benak para turis, apakah Bali masih Pulau Dewata, jangan-jangan Pulau Teroris ?
Gambaran tadi memperkuat suatu pemahaman bahwa membangun suatu brand (Brand Building) merupakan kerja yang keras dan memerlukan suatu perencananaan dan dukungan dari banyak pihak. Tidak hanya Pemda dan penduduk setempat, namun para ahli pemasaran, pariwisata maupun Public Relation perlu dilibatkan untuk membentuk citra yang positif akan suatu produk.
Kenyataan bahwa daerah / kota telah menjadi brand yang berasosiasi pada suatu kondisi tertentu memang tidak terhindarkan. Namun sering terjadi, banyak kota tidak punya asosiasi yang kuat secara positif. Ini bisa terjadi karena kota tersebut tidak punya suatu perencanaan positioning yang jelas, akan dibawa kemana arah pengembangan kota tersebut secara orientasi pasarnya.
Pencitraan asosiasi kota dengan suatu kondisi atau produk tertentu (ingat Dodol Garut atau Tahu Sumedang? Jangan lupa Durian Bangkok atau Batik Solo !) bisa saja berlangsung secara alami. Namun tetap kalau kita telisik lebih dalam, di sana terjadi proses program pemasaran baik yang terencana maupun secara alami dengan dukungan berbagai pihak secara kuat. Maka jika kita belum mendapatkan suatu pencitraan yang jelas akan kota kita, saatnya yang tepatlah sekarang untuk membentuk citra brand yang kuat, positif dan bertahan lama.
Peranan Riset Dalam Branding
Setelah hasil riset didapatkan maka akan dibuatkan suatu formulasi strategi dan program pemasaran yang memang secara pendekatan sesuai dengan kondisi yang ada dan dibutuhkan bukan sesuatu yang sifatnya trial and error.
Saat semua itu dipadukan dengan kepiawaian strategi Public Relation yang tepat, maka akan diperoleh suatu integrasi program yang bisa diaplikasikan dengan realistis dan efisien namun powerful. Untuk itu tidak bisa dipungkiri bahwa setiap program yang dijalankan harus didasarkan pada riset yang kuat sebagai kompas atau alat diagnosis dari suatu strategi. Selanjutnya dengan riset pula bisa dievaluasi kemajuan / hasil dari setiap program. Ini artinya program anda terukur (measurable) sehingga pertanggung jawabannya jelas. Maka kemampuan melaksanakan dan menganalisis riset merupakan bagian strategis dalam proses branding.
Riset yang baik dan benar tidaklah murah, walaupun juga tidak berarti harus mahal sekali. Anda tidak mungkin menyuruh dokter memakai tangan dia saja saat memeriksa sakit Anda. Paling sedikit stetoskop dan alat cek tekanan darah. Semakin berat sakit Anda, maka alat yang diperlukan semakin canggih. Namun percayalah, alat itu memang berguna, bukan buat pamer.
Tanpa riset yang benar dan akurat serta analisis hasil riset yang kuat dan dalam maka kita akan melakukan berbagai program dengan kemungkinan terjadinya kegagalan yang tinggi. Ini bagaikan menembak suatu sasaran tanpa memahami sasarannya sebesar apa, ada di mana dan bergerak kemana. Hati-hati kalau sudah sepeti itu! Kata orang bilang itu namanya kalap! Kalau sudah begitu, jangan-jangan kita sendiri yang kena tembak ! Maka bijaklah memahami dengan cermat kemana uang anda harus dibelanjakan.



BRAND ARCHITECTURE

1. Brand Vision
- the long term goal of the brand (global in the case of brands also marketed outside of Indonesia))

2. Brand Mission
- how will the brand expand its volume and consumer base, by
offering the consumers what?

3. Brand Role
- what’s the role of the brand in the overall company portfolio

4. Brand Positioning
- how should it be positioned in consumers’ minds

5. Sustainable Competitive Advantage
- What differentiates the brand from the competition that is distinctive and adds value

6. Core Brand Values
- Try to stay with no more than 3 core values

7. Brand Promise
a. Rational Benefit
(what is the consumer’s rationale for choosing to use your brand
that he cannot get from other brands)

b. Emotional Benefit
(what emotional benefit can a consumer get out of choosing this brand eg.
Using Brand X means that I can be confident in any social environment and that my brand reflects well on my judgement, consistent with a discerning and exclusive lifestyle)

c. Brand promise
(what’s the overall brand promise)

8. Brand Character / Personality

9. Brand’s copy line

10. Key image attributes
- Brand to achieve superiority to target brands in which key image
attributes

11. Target Group
- Demographics (Primary and Secondary, age, SES, blue, grey, white collar) N.B Grey is defined as those with technical skills but who do not qualify as executives or professionals
- Psychographics (Lifestyle, behaviour, attitude, aspiration,
discerning in choice, etc)

12. Target Brands (Competitive Set)
- what brands would Brand X be competing with for its target
consumers

13. Source of Business
- from which brand/s is Brand X likely to get business from

14. Desired Consumer Response
(what do we want the consumer to say about the brand after he has seen
all the advertising and communications)


Sumber informasi :
1. The Fall of Advertising & The Rise of PR by Al Ries and Laura Ries
2. Branding from Brief to Finished Solution by Mono Design, January 2005
3. Majalah Periklanan dan Marketing serta Komunikasi B&B edisi November 2005
4. Pemikiran Pribadi
BAKERY INDONESIA
Tahun 2008 Akankah Tetap Menjanjikan?


Pada kurun 5 tahun belakangan ini, usaha bakery di Indonesia menikmati pertumbuhan yang menggiurkan. Pada tahun 2006, Food Hotel Asia merelease angka bahwa pertumbuhan tertinggi usaha bakery di Asia diraih oleh Indonesia, yaitu sebesar 34%. Angka yang membuat mata para pemain usaha bakery manca negara terbelalak. Tidak mengherankan pemain-pemain top dunia menyerbu masuk, termasuk pemain yang dulu pernah hengkang seperti Burger King, melihat pertumbuhan pasar yang menarik, kembali masuk ke Indonesia melalui Mitra Adi Perkasa (MAP). Belum lagi pemain baru seperti Krispy Kreme (anak perusahaan MAP juga) dan Breadtalk yang fenomenal.

Kondisi Pasar Indonesia
Indonesia dihuni sekitar 220,5 juta orang, 300 etnis, 85% muslim. Per kapita GDP (Gross Domestic Product) sebesar US$ 4,458, merupakan urutan ke 6 dari 10 negara ASEAN. Usia median di 29 tahun dan harapan hidup pada 70 tahun. Pertumbuhan ekonomi sebesar 7% di tahun 2007 (menurut Riset Konsumen AC Nielsen 2006-2007).

Pasar Indonesia begitu terintegrasinya dengan preferensi konsumen berbanding lurus dengan kelompok pendapatan daripada dengan kondisi lokasi geografisnya. Distribusi dan pemasaran merupakan hal yang rumit karena kondisi negara kepulauan dengan infrastruktur yang sangat timpang. SES C (pengeluaran Rp 700.000 s.d Rp 1,5 juta per bulan) merupakan yg terbesar yaitu 48,5%, yang merupakan target utama bagi setiap produk yang dipasarkan.

Ada 3 kota di luar Jawa yang dihuni oleh lebih dari 1 juta penduduk, yaitu Makassar, Palembang dan Medan. Akibatnya kegiatan ekonomi menumpuk di Jawa dan di ibu kota propinsi yang padat tersebut. Di Jawa, kondisi prasarana dan sarana apapun tersedia dengan baik (tidak heran pulau ini dihuni 59% penduduk) sementara di luar Jawa, jalan dan listrik banyak yang belum siap. Akibatnya kegiatan industri dan perdagangan juga akan berpusat pada area-area yang siap menunjang kebutuhan mereka dalam berproduksi dan menyalurkan produknya.
Menurut riset AC Nielsen tahun 2006/2007, mie instant merupakan produk makanan (bermerek) yang dikonsumsi paling tinggi. Ada sekitar 1,85 juta titik-titik penjualan tradisional, yang tumbuh 6 % sampai 9% per tahun, sementara pasar retail modern tumbuh 20% per tahun. Dengan demikian tidaklah mengherankan, pemain-pemain roti akan berfokus pada lokasi pasar yang pertumbuhannya tinggi dan biaya distribusinya efisien. Dengan kata lain mereka tidak akan bertaruh pada penyebaran di pasar tradisional yang melelahkan dalam proses distribusinya, sementara daya belinya biasa-biasa saja, sementara di pasar modern, distribusi lebih praktis walaupun dikompensasi dengan ongkos sewa tempat yang mahal, namun masih bisa diimbangi dengan dengan daya beli pasar yang kuat.
Roti merupakan salah satu produk yang sangat mengandalkan distribusi yang bagus. Hal ini disebabkan sifat produk yang usianya pendek (maksimal 3 hari sudah menurun kualitasnya) disebabkan kelembaban udara Indonesia yang tinggi. Dengan demikian usaha roti di Indonesia jarang sekali menyebar di banyak propinsi. Pelaku usaha harus menyebar kitchen / sentra produksinya ke beberapa area. Hal ini tidak mudah karena membangun sarana produksi dan memiliki sumber daya (bakers) yang handal tidak mudah.

Jatuh Bangun Bakery Indonesia
Dunia roti di Indonesia terbagi atas beberapa fase yang akan membentuk pula segmentasi pasarnya.
Fase pertama sekitar tahun 1940 sampai 1970an awal. Fase ini ditandai dengan hadirnya roti-roti yang menjiplak habis jenis roti dari Belanda, karena kita masih mewarisi resep-resep mereka. Roti-roti yang dibuat memfokuskan pada aroma susu dan tekstur yang tidak terlalu halus. Ada kombinasi juga dari makanan lokal seperti lemper dan kue-kue berbahan dasar tepung beras / ketan. Mengapa demikian? Karena tepung terigu tidak mudah didapat, harus diimpor dari Belanda, Australia, dan Amerika Serikat. Pemain-pemain yang masih tersisa namanya pada era ini seperti Tan Ek Tjoan & Roti Lauw di Jakarta, Roti Go di Purwokerto. Namun pengusaha roti tradisional terus tumbuh dengan pola penjualan yang sifatnya jemput pasar, dengan menjajakan roti memakai gerobak sepeda. Juga mengandalkan outlet mereka yang sampai sekarang hampir tidak ada perubahan.

Fase kedua sekitar awal tahun 1970an sampai 1990an. Era ini ditandai dengan mulai hadirnya bakery-bakery (outlet penjualan roti yang modern lengkap dengan pendingin ruangan dan showcase). Jenis roti yang ditawarkan sudah mulai mengambil bentuk jenis roti yang agak fashion, sudah mulai kuat rasa manisnya, memakai bahan yang berfokus pada filling (isi) roti. Pada era ini hadirlah bakery seperti Gandy Bakery, French Bakery, Suisse Bakery, Holland Bakery, dan beberapa bakery lainnya yang semuanya berlokasi di sekitar Jalan Hayam Wuruk dan Gajah Mada Jakarta. Juga hadir pemain luar yang fenomenal di awal tahun 1990an yaitu Dunkin’ Donuts dan MacDonald. Antrean pembeli memanjang untuk mencicipi donat dan burger, yang di luar negeri dicitrakan sebagai makanan junk food, tetapi di sini jadi makanan gaya hidup kelas atas.

Bakery-bakery ini segera menjadi buah bibir bagi masyarakat menengah kota-kota besar lain, dan segera mereka membuka bentuk bakery sejenis di kota-kota besar seperti Surabaya, Medan, Makasar. Era ini bergairah karena hadirnya industry penunjang yaitu pabrik terigu Bogasari di Jakarta dan Surabaya serta Ujung Pandang. Belum lagi industry susu dan margarine serta coklat. Kehadiran industry ini menjamin kelangsungan proses produksi.
Fase ketiga sekitar tahun 1996 – 2002. Era ini ditandai dengan hadirnya industry roti berskala besar dan modern. Hal ini didasari perekonomian yang tumbuh pesat, maka hadirlah pemain-pemain asing masuk ke industry roti dalam skala besar untuk melayani wilayah penjualan yang bukan lagi mencakup kota tapi sampai skala propinsi. Proses produksi dan jalur distribusi yang dipakai sangat modern. Era ini ditandai dengan kehadiran Sari Roti, Sara Lee, Simplot. Liberalisasi perdagangan terigu juga menjadi sinyal positif bagi para pemain roti, karena mereka tidak lagi bergantung pada Bogasari untuk membeli terigu tapi dapat membelinya dari produsen baru seperti Sriboga dan Panganmas juga dari trader yang mengimpor terigu dari Australia, Belgia, Belanda, Perancis dan Singapura.

Sayangnya tidak mudah menembus pasar roti Indonesia (Jabodetabek) yang agak aneh. Kelas menengah atas tidak teralalu cocok dengan produk roti missal ala Simplot dan Sara Lee yang harganya relative terjangkau bagi mereka. Dengan setia mereka masih tetap membeli dari outlet-outlet bakery kesayangan mereka. Namun di pasar kelas bawah gempuran dari industri roti murah (harga dibawah Rp 1.000 per potong) membuat kedua pemain tidak kuat menahan gempuran. Akhirnya kedua pemain ini bergabung namun tetap tidak bias kembali ke gelanggang permainan. Mereka hanya focus sebagai supplier burger bun bagi Mac Donald. Sementara Sari Roti, dengan konsep roti ala jepangnya (karena sang investor dari Jepang) bias bertahan dengan strategi penyebaran ke modern outlet yang dibantu tim sepeda kelilingnya (hawker). Sari Roti serius menata pemasarannya (branding, distribusi, harga yang bervariasi, produk yang bisa diterima dari sisi rasa) serta investasinya diutilisasi dengan maksimal.
Pada fase ini hadir juga roti-roti mungil yang sering diistilahkan roti unyil, mulai dari Bogor (Venus Bakery) sampai Jakarta dan Sumatera (Purimas Bakery). Mewabah karena konsumen menyukai bentuk yg kecil-kecil dan rasa yang beraneka ragam.

Fase keempat dimulai sekitar tahun 2002 dimana ditandai dengan kehadiran roti-roti oriental dari Taiwan. Ciri khas roti ini teksturnya sangat lembut, manisnya sedang, berani menonjolkan topping yang unik, pengunjung bebas menambil sendiri roti yang diminati dan bias melihat proses roti dibuat. Dapur produksi menjadi bahan tontonan dan pameran kebersihan dan proses produksi yang atraktif. Kalau di fase awal kita sering mendengar guyonan bahwa keringat sang baker bercampur di adonan roti sehingga aroma roti jadi nikmat, semata karena kita buta akan proses bagaimana proses pembuatan roti itu berlangsung dan peralatan yang dipakai begitu tradisionalnya. Di fase keempat ini para pemain roti dengan bangga memamerkan peralatan dan proses produksinya.

Pada fase keempat juga terjadi aktivitas me-too product. Breadtalk yang hadir secara fenomenal dengan roti abon andalannya, segera diikuti dengan hadirnya bakery-bakery lain yang mengambil nama hampir mirip-mirip dan menjajakan produk yang juga hampir serupa. Namun ada pemain lain yang tetap jalan dengan konsepnya sendiri walaupun mengambil pola oriental bread seperti Eaton Bakery dan Jesslyn K Cakes. Mereka tidak terhanyut pada permainan yang dibuat oleh Breadtalk. Namun bagaimanapun harus diakui Breadtalk telah membuat pasar bakery kembali semarak dan menjadi buah bibir. Kehadiran Roti Boy dari Malaysia tidak menggoyang fenomena kesuksesan BreadTalk.

Luar biasanya, sang pemilik Breadtalk yaitu Johnny Andrean tidak berpuas diri dengan Breadtalk. Dia segera membangun produk original andalannya yaitu donut J Co. Produk roti bulat digoreng yang sudah lama hadir dan untuk pasar moderennya dikuasai Dunkin’ Donuts, kembali bergairah. Konsep donut kembali berubah. Toppingnya menjadi beragam, ada almond, madu, green tea, coklat belgia. Donut tidak lagi sekedar bertopping gula kastor atau coklat meses yang membosankan. Tempat jualannya pun dibuat cozy, bahkan menjadi tempat kaum muda dan eksekutif bertemu mitra bisnis. Hadirlah outlet donat lain ynag ingin mencicipi pasar donut yang bergairah kembali. Bahkan Dunkin’ Donutpun segera berbenah ulang lagi dengan merubah konsep outletnya. Jualan donat harus didampingi jualan kopi berkelas sebagai teman makan donat plus tempat yang asyik untuk bersosialisasi.

Fase Berikutnya Industri Roti Indonesia
Kita patut menyambut gembira hadirnya pemain-pemain roti inovatif di Indonesia. Kehadiran Roti Boy, Krispy Kreme, Breadtalk, Eaton menambah wawasan kita akan roti-roti berkualitas yang diimbuhi dengan pelayanan yang menawan. Namun jangan lupa, pasar terbesar masih di roti kelas menengah ke bawah yang dijual sekitar Rp 2.500 ke bawah. Produk-produk roti ini dihasilkan oleh produsen dari kelas rumahan sampai industry menengah yang serius menggarap pasar ini.

Namun ada problem potensial yang patut diwaspadai oleh para pemain di industry roti. Pertama adalah kenaikan harga terigu yang akan menuju ke Rp 6000 per kg akibat tingginya harga gandum. Kenaikan harga gandum dari Januari 2007 sampai Oktober 2007 saja sudah melewati angka 200% (US$ 175 ke US$ 350 per ton). Belum lagi harga margarine, gula dan susu yang juga semakin mahal. Biaya produksi juga akan semakin mahal seiring dengan rencana pemerintah menaikkan harga gas dan minyak bakar industry. Sulit bagi pemerintah untuk tetap bertahan dengan harga jual yang sekarang, karena harga minyak dunia sudah menembus US$ 95 lebih per barrel sementara budget pemerintah untuk harga minyak adalah US$ 60 per barrel.

Dampak kenaikan harga minyak juga akan merambah ke sector distribusi dan logistic. Baik untuk bahan baku maupun barang jadi akan melalui kedua aktivitas sector tersebut. Jangan lupa pengelola pasar modern (mall, plaza, square) pun akan menyesuaikan biaya listriknya ke para tenantnya sehingga service charge outlet di modern retail juga akan meningkat. Maka tidak terhindarkan produsen roti menghadapi pilihan memotong margin laba atau menaikkan harga jual dengan resiko menurunnya penjualan. Keduanya merupakan pilihan sulit namun harus diambil.

Produsen bahan baku roti (terigu, margarin, susu, gula, coklat) bukannya tutup mata dengan kondisi yang ada. Bogasari menaikkan harga jualnya secara bertahap ke pelanggannya sehingga industry makanan berbasis terigu bisa tetap bertahan. Produsen minyak goreng dan margarine juga berani menjual dengan margin tipis di pasar lokal untuk bisa tetap menjaga pasarnya. Namun kondisi tersebut tidak akan ditahan lama karena bagaimanapun mereka harus bertahan hidup juga.

Dengan target pertumbuhan sekitar 6% di tahun 2008, kita berharap pemerintah serius membelanjakan anggarannya di sector infrastruktur dan pembukaan lapangan kerja baru. Uang yang mengalir ke masyarakat akan membantu menaikkan daya beli. Bagaimanapun dengan mahalnya harga BBM tidak bisa kita harapkan biaya produksi dan distribusi akan turun. Maka kemampuan daya beli konsumen harus mengimbangi kondisi tersebut.

Produsen roti semacam Breadtalk, McDonald, Krispy Kreme tidak perlu terlalu khawatir akan ditinggal pembelinya, karena segmen pasarnya relative tidak sensisitf terhadap harga produk roti. Para pemain ini hanya perlu menahan diri dalam berekspansi karena market size tidak bertumbuh terlalu baik. Namun bagi para pemain industry roti kelas bawah mereka perlu waspada menghadapi jepitan dari berbagai sisi. Harga bahan baku dan biaya produksi yang tidak terhindarkan akan naik sementara daya beli konsumen mereka semakin menurun dan akan berfokus pada makanan pokok yang murah. Bisa jadi yang akan semakin cemerlang penjualannya pada situasi ini adalah mie instan yang selalu jadi makanan favorit karena terjangkau di kala sulit maupun senang.

Semoga industri roti Indonesia dapat bertahan dan menemukan strategi yang baik dalam menghadapi himpitan problem di depan.

Catatan : tulisan ini juga dimuat di Asia Pacific Food Industry edisi Indonesia bulan Jan 2008

Ditulis oleh :
Ir. Petrus Gandamana MM
Managing Director PT. Market Research Partner (MRP) Indonesia
Mantan Marketing Manager di salah satu industri pangan besar Indonesia.
Konsultan & Periset Industri Pangan
HP 0811914420
Email : petrusgandamana@mrpindonesia.com or petrusgandamana@gmail.com or petrusgandamana@yahoo.com

Monday, February 26, 2007


Petrus Gandamana, Ir. MM
Brand & Marketing
HP : +62 811914420,
Email petrusgandamana@yahoo.com or petrusgandamana@gmail.com

Lulusan Teknik Industri dari Institut Teknologi Indonesia ini begitu selesai kuliah tahun 1993 diserahi tugas untuk menangani pekerjaan di bidang perencanaan sebuah pabrik makanan dan desain organisasinya. Bidang usaha yang ditanganinya adalah pabrik makanan beku untuk ekspor ke Jepang yg berlokasi di Ungaran Semarang.
Pengalaman selama tiga tahun dalam membangun dan mengelola pabrik makanan berstandar tinggi, karena target pasarnya ke Jepang, membuatnya memahami bahwa mempersiapkan dan mengelola sumber daya manusia yang berdisiplin tinggi adalah salah satu kunci utama untuk dapat menembus pasar yang persyaratannya ketat.
Atas keberhasilannya meraih kepercayaan pelanggan di Jepang maka jabatan pimpinan perusahaan dipegangnya (1994 – 1996) walaupun usianya masih tergolong muda pada saat itu.

Namun nalurinya sebagai seorang Salesman dan Marketer membuatnya memutuskan untuk berganti haluan karir. Awal 1997 memulai karir baru sebagai seorang salesman untuk produk-produk interior kelas atas dari Jepang. Sambil membina karier sebagai seorang salesman Petrus memperdalam pengetahuan pemasarannya dengan kuliah S2 bidang pemasaran di Universitas Tarumanagara selama 2 tahun (1997-1999) dan berhasil lulus dengan peringkat kedua terbaik. Pengalamannya sebagai salesman yang dibantu pengetahuan marketing yang kuat, menarik dirinya bergabung ke Indofood Sukses Makmur divisi terigu Bogasari Flour Mills. Jabatan yg diisi adalah Asisten Manager Penjualan ke Industri Besar. Bergabung dalam team bersama Philip S. Purnama, mantan Direktur Indofood yang disegani di dunia pemasaran. Selama 3 tahun di jabatan tersebut, volume penjualan produk Bogasari di pangsa pasar pabrik biscuit naik rata-rata 75% pertahun di tengah persaingan pasar yg ketat karena serangan terigu impor murah dari China dan India serta Eropa.

Prestasi ini mengatarnya untuk dipromosikan menjadi Manager Product Group, jabatan yang memberinya tanggung jawab atas segala aktivitas pemasaran dan riset pasar seluruh produk Bogasari. Bersama Philip S. Purnama pula Petrus membangun program-program agar commodity products menjadi branded products untuk mendapatkan keunggulan harga premium.
Tugas-tugas utama yang diembannya adalah :
1. Brand Management (concept, strategy, implementation)
2. Advertising and Promotion Planning and evaluation (TVC dan berbagai promosi lainnya )
3. Market Research
4. Product Development Leader

Salah satu keberhasilan utamanya adalah melakukan kerjasama Co Branding dengan pelanggan-pelanggan yg memiliki merek kuat. Selain itu juga berkolaborasi dengan supplier gandum dari Australia untuk memasang logo “AWB White Wheat” di kemasan terigu Bogasari.

Catatan prestasi lainnya adalah berkontribusi membantu Bogasari meraih ICSA (Indonesia Customer Satisfaction Award for Segitiga Biru Brand) sebanyak 3 kali. Memenangkan Marketing Award 2006 for Best IT in Marketing and The Best in Experiential Marketing. Juga membantu Brand Segitiga Biru metaih Top Brand Award 2007. Secara signifikan meningkatkan brand awareness Cakra Kembar dan Segitiga Biru dari 80% ke 93%. Juga membantu peningkatan konsumsi terigu nasional dari 12 kg per kapita menjadi 16 kg per kapita.

Kompetensinya adalah :
Brand Management. Perencanaan dan implementasi strategi untuk :
§ Meningkatkan customer's loyalty
· Meningkatkan market consumption
· Meningkatkan market size
· Mengatur perencanaan Brand portfolio
· Mengatur Brand architecture, brand guidelines and packaging design
Analisis market trends, product portfolio performance, competitor's performance dan mengajukan usulan serangan ke kompetitor.
Perencanaan dan implementasi Advertising and Promotion
Perencanaan dan pelaksanaan Market Research
Pembuatan Budget untuk melaksanakan Marketing Programs.

Selain itu Petrus juga dipercayakan untuk pengembangan produk-produk special Bogasari, seperti tepung untuk beberapa bakery papan atas dan tepung lainnya yaitu Tepung Ubi Jalar .

Beberapa pelatihan dan seminar yang pernah menampilkannya adalah :
1. Instruktur kursus Bakery Management di Bogasari Baking Center, Jakarta. Kelas kursus : Marketing pada tahun 2001 sampai 2003.
2. Pembicara untuk Seminar Trend & Peluang Usaha Makanan Berbasis Terigu di Indonesia di Politeknik Pangan Universitas Lampung, 6 April 2006.
Pembicara Seminar Makanan Etnik Jawa Barat oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat, 16 Mei 2006.
Presenter Marketing Award 2006 mewakili ISM Bogasari Flour Mills, dan sukses meraih Award in Best In Experiential Marketing and Best Information Technology in Marketing, pada 14 Juli 2006. Membantu pencapaian Top Brand Award 2007 untuk brand Segitiga Biru.

Petrus juga merupakan salah satu peraih Best Achiever Performance selama dilaksanakannya kelas Executive Development Program oleh Asian Institute of Management Manila, Philippine di tahun 2005. Training-training teknikal dan management serta marketing secara intensif diikutinya, baik yang diselenggarakan di dalam maupun di luar negeri (Australia, Jepang, Singapura, Kanada, Filipina, China, Hongkong).

Pengalaman yang mendalam di dunia marketing dan salesmanship selama 7 tahun di Bogasari dan 3 tahun di perusahaan sebelumnya, merupakan bekal baginya dalam menganalisis hasil-hasil riset pasar yang dapat diformulasikan dalam suatu strategi pemasaran yang :
a. powerful
b. efektif
c. efisien
d. measurable

Dengan demikian para mitra pelanggan yang bekerjasama dengan Petrus di PT. MRP Indonesia akan merasakan bahwa setiap ide program yang disampaikannya adalah realistis namun kreatif.