BAKERY INDONESIA
Tahun 2008 Akankah Tetap Menjanjikan?
Tahun 2008 Akankah Tetap Menjanjikan?
Pada kurun 5 tahun belakangan ini, usaha bakery di Indonesia menikmati pertumbuhan yang menggiurkan. Pada tahun 2006, Food Hotel Asia merelease angka bahwa pertumbuhan tertinggi usaha bakery di Asia diraih oleh Indonesia, yaitu sebesar 34%. Angka yang membuat mata para pemain usaha bakery manca negara terbelalak. Tidak mengherankan pemain-pemain top dunia menyerbu masuk, termasuk pemain yang dulu pernah hengkang seperti Burger King, melihat pertumbuhan pasar yang menarik, kembali masuk ke Indonesia melalui Mitra Adi Perkasa (MAP). Belum lagi pemain baru seperti Krispy Kreme (anak perusahaan MAP juga) dan Breadtalk yang fenomenal.
Kondisi Pasar Indonesia
Indonesia dihuni sekitar 220,5 juta orang, 300 etnis, 85% muslim. Per kapita GDP (Gross Domestic Product) sebesar US$ 4,458, merupakan urutan ke 6 dari 10 negara ASEAN. Usia median di 29 tahun dan harapan hidup pada 70 tahun. Pertumbuhan ekonomi sebesar 7% di tahun 2007 (menurut Riset Konsumen AC Nielsen 2006-2007).
Pasar Indonesia begitu terintegrasinya dengan preferensi konsumen berbanding lurus dengan kelompok pendapatan daripada dengan kondisi lokasi geografisnya. Distribusi dan pemasaran merupakan hal yang rumit karena kondisi negara kepulauan dengan infrastruktur yang sangat timpang. SES C (pengeluaran Rp 700.000 s.d Rp 1,5 juta per bulan) merupakan yg terbesar yaitu 48,5%, yang merupakan target utama bagi setiap produk yang dipasarkan.
Ada 3 kota di luar Jawa yang dihuni oleh lebih dari 1 juta penduduk, yaitu Makassar, Palembang dan Medan. Akibatnya kegiatan ekonomi menumpuk di Jawa dan di ibu kota propinsi yang padat tersebut. Di Jawa, kondisi prasarana dan sarana apapun tersedia dengan baik (tidak heran pulau ini dihuni 59% penduduk) sementara di luar Jawa, jalan dan listrik banyak yang belum siap. Akibatnya kegiatan industri dan perdagangan juga akan berpusat pada area-area yang siap menunjang kebutuhan mereka dalam berproduksi dan menyalurkan produknya.
Menurut riset AC Nielsen tahun 2006/2007, mie instant merupakan produk makanan (bermerek) yang dikonsumsi paling tinggi. Ada sekitar 1,85 juta titik-titik penjualan tradisional, yang tumbuh 6 % sampai 9% per tahun, sementara pasar retail modern tumbuh 20% per tahun. Dengan demikian tidaklah mengherankan, pemain-pemain roti akan berfokus pada lokasi pasar yang pertumbuhannya tinggi dan biaya distribusinya efisien. Dengan kata lain mereka tidak akan bertaruh pada penyebaran di pasar tradisional yang melelahkan dalam proses distribusinya, sementara daya belinya biasa-biasa saja, sementara di pasar modern, distribusi lebih praktis walaupun dikompensasi dengan ongkos sewa tempat yang mahal, namun masih bisa diimbangi dengan dengan daya beli pasar yang kuat.
Roti merupakan salah satu produk yang sangat mengandalkan distribusi yang bagus. Hal ini disebabkan sifat produk yang usianya pendek (maksimal 3 hari sudah menurun kualitasnya) disebabkan kelembaban udara Indonesia yang tinggi. Dengan demikian usaha roti di Indonesia jarang sekali menyebar di banyak propinsi. Pelaku usaha harus menyebar kitchen / sentra produksinya ke beberapa area. Hal ini tidak mudah karena membangun sarana produksi dan memiliki sumber daya (bakers) yang handal tidak mudah.
Jatuh Bangun Bakery Indonesia
Dunia roti di Indonesia terbagi atas beberapa fase yang akan membentuk pula segmentasi pasarnya.
Fase pertama sekitar tahun 1940 sampai 1970an awal. Fase ini ditandai dengan hadirnya roti-roti yang menjiplak habis jenis roti dari Belanda, karena kita masih mewarisi resep-resep mereka. Roti-roti yang dibuat memfokuskan pada aroma susu dan tekstur yang tidak terlalu halus. Ada kombinasi juga dari makanan lokal seperti lemper dan kue-kue berbahan dasar tepung beras / ketan. Mengapa demikian? Karena tepung terigu tidak mudah didapat, harus diimpor dari Belanda, Australia, dan Amerika Serikat. Pemain-pemain yang masih tersisa namanya pada era ini seperti Tan Ek Tjoan & Roti Lauw di Jakarta, Roti Go di Purwokerto. Namun pengusaha roti tradisional terus tumbuh dengan pola penjualan yang sifatnya jemput pasar, dengan menjajakan roti memakai gerobak sepeda. Juga mengandalkan outlet mereka yang sampai sekarang hampir tidak ada perubahan.
Fase kedua sekitar awal tahun 1970an sampai 1990an. Era ini ditandai dengan mulai hadirnya bakery-bakery (outlet penjualan roti yang modern lengkap dengan pendingin ruangan dan showcase). Jenis roti yang ditawarkan sudah mulai mengambil bentuk jenis roti yang agak fashion, sudah mulai kuat rasa manisnya, memakai bahan yang berfokus pada filling (isi) roti. Pada era ini hadirlah bakery seperti Gandy Bakery, French Bakery, Suisse Bakery, Holland Bakery, dan beberapa bakery lainnya yang semuanya berlokasi di sekitar Jalan Hayam Wuruk dan Gajah Mada Jakarta. Juga hadir pemain luar yang fenomenal di awal tahun 1990an yaitu Dunkin’ Donuts dan MacDonald. Antrean pembeli memanjang untuk mencicipi donat dan burger, yang di luar negeri dicitrakan sebagai makanan junk food, tetapi di sini jadi makanan gaya hidup kelas atas.
Bakery-bakery ini segera menjadi buah bibir bagi masyarakat menengah kota-kota besar lain, dan segera mereka membuka bentuk bakery sejenis di kota-kota besar seperti Surabaya, Medan, Makasar. Era ini bergairah karena hadirnya industry penunjang yaitu pabrik terigu Bogasari di Jakarta dan Surabaya serta Ujung Pandang. Belum lagi industry susu dan margarine serta coklat. Kehadiran industry ini menjamin kelangsungan proses produksi.
Fase ketiga sekitar tahun 1996 – 2002. Era ini ditandai dengan hadirnya industry roti berskala besar dan modern. Hal ini didasari perekonomian yang tumbuh pesat, maka hadirlah pemain-pemain asing masuk ke industry roti dalam skala besar untuk melayani wilayah penjualan yang bukan lagi mencakup kota tapi sampai skala propinsi. Proses produksi dan jalur distribusi yang dipakai sangat modern. Era ini ditandai dengan kehadiran Sari Roti, Sara Lee, Simplot. Liberalisasi perdagangan terigu juga menjadi sinyal positif bagi para pemain roti, karena mereka tidak lagi bergantung pada Bogasari untuk membeli terigu tapi dapat membelinya dari produsen baru seperti Sriboga dan Panganmas juga dari trader yang mengimpor terigu dari Australia, Belgia, Belanda, Perancis dan Singapura.
Sayangnya tidak mudah menembus pasar roti Indonesia (Jabodetabek) yang agak aneh. Kelas menengah atas tidak teralalu cocok dengan produk roti missal ala Simplot dan Sara Lee yang harganya relative terjangkau bagi mereka. Dengan setia mereka masih tetap membeli dari outlet-outlet bakery kesayangan mereka. Namun di pasar kelas bawah gempuran dari industri roti murah (harga dibawah Rp 1.000 per potong) membuat kedua pemain tidak kuat menahan gempuran. Akhirnya kedua pemain ini bergabung namun tetap tidak bias kembali ke gelanggang permainan. Mereka hanya focus sebagai supplier burger bun bagi Mac Donald. Sementara Sari Roti, dengan konsep roti ala jepangnya (karena sang investor dari Jepang) bias bertahan dengan strategi penyebaran ke modern outlet yang dibantu tim sepeda kelilingnya (hawker). Sari Roti serius menata pemasarannya (branding, distribusi, harga yang bervariasi, produk yang bisa diterima dari sisi rasa) serta investasinya diutilisasi dengan maksimal.
Pada fase ini hadir juga roti-roti mungil yang sering diistilahkan roti unyil, mulai dari Bogor (Venus Bakery) sampai Jakarta dan Sumatera (Purimas Bakery). Mewabah karena konsumen menyukai bentuk yg kecil-kecil dan rasa yang beraneka ragam.
Fase keempat dimulai sekitar tahun 2002 dimana ditandai dengan kehadiran roti-roti oriental dari Taiwan. Ciri khas roti ini teksturnya sangat lembut, manisnya sedang, berani menonjolkan topping yang unik, pengunjung bebas menambil sendiri roti yang diminati dan bias melihat proses roti dibuat. Dapur produksi menjadi bahan tontonan dan pameran kebersihan dan proses produksi yang atraktif. Kalau di fase awal kita sering mendengar guyonan bahwa keringat sang baker bercampur di adonan roti sehingga aroma roti jadi nikmat, semata karena kita buta akan proses bagaimana proses pembuatan roti itu berlangsung dan peralatan yang dipakai begitu tradisionalnya. Di fase keempat ini para pemain roti dengan bangga memamerkan peralatan dan proses produksinya.
Pada fase keempat juga terjadi aktivitas me-too product. Breadtalk yang hadir secara fenomenal dengan roti abon andalannya, segera diikuti dengan hadirnya bakery-bakery lain yang mengambil nama hampir mirip-mirip dan menjajakan produk yang juga hampir serupa. Namun ada pemain lain yang tetap jalan dengan konsepnya sendiri walaupun mengambil pola oriental bread seperti Eaton Bakery dan Jesslyn K Cakes. Mereka tidak terhanyut pada permainan yang dibuat oleh Breadtalk. Namun bagaimanapun harus diakui Breadtalk telah membuat pasar bakery kembali semarak dan menjadi buah bibir. Kehadiran Roti Boy dari Malaysia tidak menggoyang fenomena kesuksesan BreadTalk.
Luar biasanya, sang pemilik Breadtalk yaitu Johnny Andrean tidak berpuas diri dengan Breadtalk. Dia segera membangun produk original andalannya yaitu donut J Co. Produk roti bulat digoreng yang sudah lama hadir dan untuk pasar moderennya dikuasai Dunkin’ Donuts, kembali bergairah. Konsep donut kembali berubah. Toppingnya menjadi beragam, ada almond, madu, green tea, coklat belgia. Donut tidak lagi sekedar bertopping gula kastor atau coklat meses yang membosankan. Tempat jualannya pun dibuat cozy, bahkan menjadi tempat kaum muda dan eksekutif bertemu mitra bisnis. Hadirlah outlet donat lain ynag ingin mencicipi pasar donut yang bergairah kembali. Bahkan Dunkin’ Donutpun segera berbenah ulang lagi dengan merubah konsep outletnya. Jualan donat harus didampingi jualan kopi berkelas sebagai teman makan donat plus tempat yang asyik untuk bersosialisasi.
Fase Berikutnya Industri Roti Indonesia
Kita patut menyambut gembira hadirnya pemain-pemain roti inovatif di Indonesia. Kehadiran Roti Boy, Krispy Kreme, Breadtalk, Eaton menambah wawasan kita akan roti-roti berkualitas yang diimbuhi dengan pelayanan yang menawan. Namun jangan lupa, pasar terbesar masih di roti kelas menengah ke bawah yang dijual sekitar Rp 2.500 ke bawah. Produk-produk roti ini dihasilkan oleh produsen dari kelas rumahan sampai industry menengah yang serius menggarap pasar ini.
Namun ada problem potensial yang patut diwaspadai oleh para pemain di industry roti. Pertama adalah kenaikan harga terigu yang akan menuju ke Rp 6000 per kg akibat tingginya harga gandum. Kenaikan harga gandum dari Januari 2007 sampai Oktober 2007 saja sudah melewati angka 200% (US$ 175 ke US$ 350 per ton). Belum lagi harga margarine, gula dan susu yang juga semakin mahal. Biaya produksi juga akan semakin mahal seiring dengan rencana pemerintah menaikkan harga gas dan minyak bakar industry. Sulit bagi pemerintah untuk tetap bertahan dengan harga jual yang sekarang, karena harga minyak dunia sudah menembus US$ 95 lebih per barrel sementara budget pemerintah untuk harga minyak adalah US$ 60 per barrel.
Dampak kenaikan harga minyak juga akan merambah ke sector distribusi dan logistic. Baik untuk bahan baku maupun barang jadi akan melalui kedua aktivitas sector tersebut. Jangan lupa pengelola pasar modern (mall, plaza, square) pun akan menyesuaikan biaya listriknya ke para tenantnya sehingga service charge outlet di modern retail juga akan meningkat. Maka tidak terhindarkan produsen roti menghadapi pilihan memotong margin laba atau menaikkan harga jual dengan resiko menurunnya penjualan. Keduanya merupakan pilihan sulit namun harus diambil.
Produsen bahan baku roti (terigu, margarin, susu, gula, coklat) bukannya tutup mata dengan kondisi yang ada. Bogasari menaikkan harga jualnya secara bertahap ke pelanggannya sehingga industry makanan berbasis terigu bisa tetap bertahan. Produsen minyak goreng dan margarine juga berani menjual dengan margin tipis di pasar lokal untuk bisa tetap menjaga pasarnya. Namun kondisi tersebut tidak akan ditahan lama karena bagaimanapun mereka harus bertahan hidup juga.
Dengan target pertumbuhan sekitar 6% di tahun 2008, kita berharap pemerintah serius membelanjakan anggarannya di sector infrastruktur dan pembukaan lapangan kerja baru. Uang yang mengalir ke masyarakat akan membantu menaikkan daya beli. Bagaimanapun dengan mahalnya harga BBM tidak bisa kita harapkan biaya produksi dan distribusi akan turun. Maka kemampuan daya beli konsumen harus mengimbangi kondisi tersebut.
Produsen roti semacam Breadtalk, McDonald, Krispy Kreme tidak perlu terlalu khawatir akan ditinggal pembelinya, karena segmen pasarnya relative tidak sensisitf terhadap harga produk roti. Para pemain ini hanya perlu menahan diri dalam berekspansi karena market size tidak bertumbuh terlalu baik. Namun bagi para pemain industry roti kelas bawah mereka perlu waspada menghadapi jepitan dari berbagai sisi. Harga bahan baku dan biaya produksi yang tidak terhindarkan akan naik sementara daya beli konsumen mereka semakin menurun dan akan berfokus pada makanan pokok yang murah. Bisa jadi yang akan semakin cemerlang penjualannya pada situasi ini adalah mie instan yang selalu jadi makanan favorit karena terjangkau di kala sulit maupun senang.
Semoga industri roti Indonesia dapat bertahan dan menemukan strategi yang baik dalam menghadapi himpitan problem di depan.
Catatan : tulisan ini juga dimuat di Asia Pacific Food Industry edisi Indonesia bulan Jan 2008
Ditulis oleh :
Ir. Petrus Gandamana MM
Managing Director PT. Market Research Partner (MRP) Indonesia
Mantan Marketing Manager di salah satu industri pangan besar Indonesia.
Konsultan & Periset Industri Pangan
HP 0811914420
Email : petrusgandamana@mrpindonesia.com or petrusgandamana@gmail.com or petrusgandamana@yahoo.com
No comments:
Post a Comment